Bismillah... Kedai buku ini bertujuan membantu teman-teman di malaysia yang memerlukan data untuk bahan kajian dan referensi, menambah wacana ataupun sekedar memenuhi rak perpustakaan pribadinya.

FENOMENA GLOBALISASI DAN CABARANNYA TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN AGAMA

Globalisasi ialah satu fenomena yang kian mendapat tempat terutamanya dalam wacana ekonomi antarbangsa sejak akhir-akhir ini. Ia juga tampak semakin wujud sebagai ciri dominan hubungan antarbangsa. Walaupun secara amnya ialah satu ideologi ekonomi, globalisasi semakin menerjah ke pelbagai aspek kehidupan seharian manusia dan memberi kesan kepada bukan saja sistem ekonomi disemua negara dunia tetapi juga sistem politik, sosial dan budaya mereka.1 Banyak yang berlaku dan berkaitan antara satu sama lain, justeru amat sukar untuk menjelaskan dengan tepat makna globalisasi.
Apabila disebut tentang globalisasi, rata-rata ramai yang masih belum mengetahui dan memahami maksud globalisasi dengan sebenarnya. Paling kurang istilah ini pernah didengari oleh sebab ia sentiasa diwar-warkan dan disebut-sebut oleh pelbagai pihak yang berpandangan jauh dan bersedia mengharungi arus globalisasi. Begitu juga, globalisasi sering dikaitkan dengan pemodenan dan teknologi canggih.
Globalisasi bermaksud mensosialisasikan pola atau sistem tertentu yang dimiliki oleh sesuatu negara atau kelompok sehingga menembusi seluruh dunia2. Globalisasi juga disebut dengan pelbagai istilah seperti ‘dunia tanpa sempadan’ (borderless world), ‘kampung global’ atau ‘desa sejagat’ (global village) dan ‘dasar langit terbuka’ (open sky policy) merupakan suatu fenomena tatacara baru dalam mewujudkan ciri-ciri pensejagatan. Dunia mahu dijadikan suatu pentas kecil supaya mudah terjangkau dalam waktu yang singkat. Dunia juga perlu dikuasai tanpa kehadiran secara fizikal kuasa besar secara langsung,3 manakala Asim. G pula memberi definasi globalisasi ialah proses yang menyebabkan masyarakat negara (atau bangsa) menjadi semakin saling terhubung dalam aspek ekonomi, politik dan budaya (yang) dimungkinkan oleh kaburnya batas goegrafi sebagai akibat pesatnya kemajuan teknologi, khususnya teknologi maklumat, pengangkutan dan komunikasi4Walau apapun, yang jelasnya kesan globalisasi bukan sahaja melibatkan perubahan yang besar dalam bidang ekonomi, politik dan sosial malah dalam bidang pendidikan.
Globalisasi dapat diertikan sebagai proses penduniaan nilai-nilai budaya kehidupan dari satu ruang budaya ke ruang budaya lainnya. Proses penduniaan --sebagai proses perubahan sosial yang cepat itu—didukung oleh teknologi komunikasi dan teknologi informatika yang memungkinkan kecepatan dan pertukaran pesan yang melintas ruang dan waktu budaya umat manusia di dunia5. Dengan kata lain, globalisasi boleh diertikan sebagai pengeluaran amalan ekonomi dan sosial ke satu budaya yang berbeza disebabkan oleh pertembungan budaya. Oleh kerananya, faktor penting untuk menghadapi globalisasi adalah pemahaman terhadap budaya itu sendiri.
Budaya boleh didefinasikan sebagai aspek persamaan yang dikongsi bersama dan mengikat individu dalam sesebuah masyarakat untuk memiliki simbol, idea, semangat, aspirasi dan visi yang sepunya hingga membezakannya dengan kelompok lain. Menurut Sammuel P. Huntington, budaya boleh dibahagikan kepada tiga bentuk, iatu:
1. Produk sesebuah masyarakat yang popular dan bersifat warisan (folk culture) seperti seni, sastera dan musik.
2.Cara kehidupan sesebuah masyarakat termasuk institusi, struktur sosial, struktur keluarga dan bentuk-bentuk lain yang bermakna kepada masyarakat terbabit.
Sesuatu yang bersifat subyektif seperti kepercayaan, nilai, tingkah laku, orientasi, tanggapan dan falsafah yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat tersebut6
Dinamika dan pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam ruang budaya adalah sebuah kenicayaan sejarah. KH. Abdurrahman Wahid dengan tegas menyatakan bahwa kebudayaan adalah buah yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dan manusia, antara kelompok. Itulah wujud dari dinamisasi kebudayaan yang tidak pernah statis, tetapi selalu bergerak ‘menjadi’. Kebudayaan akhirnya seperti sebuah siklus alami yang tidak dapat dielakkan seperti dalil ‘masyarakat lahir, tumbuh, berkembang dan layu’ bahkan kemudian ‘mati’ akan tetapi kemudian akan dilanjutkan dengan kelahiran yang baru dengan siklus yang sama7. Itulah hakikat daripada dialektika kebudayaan.
Kembali pada perbincangan mengenai globalisasi yang hingga hari ini telah merambah dalam kehidupan masyarakat dipelbagai aspek kehidupan manusia moden merangkumi aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, jati diri, kepenggunaan, kesedaran gender dan yang paling penting sekali adalah aspek pendidikan.8
Dari beberapa aspek tersebut, mungkin arus perubahan yang terbesar dari proses globalisasi terjadi pada aspek sosial, politik dan ekonomi. Terjadi kekhawatiran dalam pergeseran nilai-nilai norma yang diakibatkan kerananya terjadi degradasi moral dan proses dehumanisasi ditengah masyarakat. Pada kondisi ini ramai orang berharap pada bidang pendidikan --khususnya pendidikan agama-- sebagai satu sistem yang mampu menahan laju efek negatif globalisasi yakni terjadinya dehumanisasi tadi yang akan menghinakan kehidupan manusia. Sayangnya, lembaga pendidikan selama ini justru adalah lembaga yang paling malas untuk berubah atau malah cenderung tidak suka melakukan perubahan9
Tujuan Pendidikan
Pendidikan dalam pembahasan ini mencakup dalam erti yang luas iatu pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal diartikan pendidikan berperingkat-peringkat yang dilaksanakan oleh lembaga/institusi rasmi sama ada diselenggarakan oleh kerajaan mahupun pihak swasta. Pendidikan nonformal mengacu pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga diluar sistem pendidikan formal, contohnya berupa bengkel/kursus, pelatihan, seminar, diskusi dan selalunya kegiatan ini dilaksanakan dengan perencanaa-perencanaan tertentu. Sedangkan pendidikan informal adalah suatu peristiwa dari suatu event yang kebetulan dijumpai oleh seseorang dan dia dapat belajar daripadanya. Hal tersebut tidak direncanakan sebelumnya, kemampuan seseorang untuk belajar tersebut sangat dipengaruhi oleh: kuatnya rasa keingin tahuan (curiosity) dan perbendaharaan pengetahuan (reportoire of knowledge) yang telah ada pada dirinya.10 Dalam pendidikan informal berarti pendidikan berkenaan dengan seluruh aspek kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan manusia sehingga akan didapatkan proses bahwa manusia bukan hanya “berada” akan tetapi “mengada” menjadi manusia (being human)11
Membincangkan pendidikan berarti melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Sebab pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup. Kerana itulah, apa yang dimaksudkan pendidikan tidak terbatas hanya kepada pengajaran.12
Salah satu unsur penting yang menopang masyarakat moden adalah berkembangnya ilmu pengetahuan. Kemajuan atau bahkan kemunduran sebuah peradaban sangat bergantung pada dinamika yang terjadi pada dunia ilmu pendidikan, dan itu dapat dikesan dari sebuah sistem yang diterapkan oleh masyarakatnya. Dasar bagi sesuatu sistem pendidikan haruslah berpaksikan kepada falsafah yang jelas. Biasanya falsafah inilah menjadi teras pendidikan. Ia mengandungi matlamat, corak dan kaedah pendidikan secara kasar, ciri-ciri yang hendak dibentuk dalam diri individu yang hendak menerima pendidikan tadi serta skop yang dirangkumi oleh proses pendidikan itu sendiri. Malaysia sebagai negara yang berkembang, pada tahun 1996 telah menetapkan falsafah pendidikan negara untuk mendokong majunya dunia pendidikan ditanah air.
Falsafah pendidikan negara malaysia itu tercantum dalam akta pendidikan 1996 yang lengkapnya berbunyi: Pendidikan di Malaysia adalah satu usaha berterusan ke arah memperkembangkan potensi individu secara menyeluruh dan bersepadu untuk melahirkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bertujuan untuk melahirkan warganegara Malaysia yang berilmu pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran keluarga masyarakat dan negara13.
Sehingga dengan demikian, pendidikan mestilah bertujuan untuk melahirkan manusia yang benar-benar beradab yakni yang berilmu, berakhlak dan berkepakaran tinggi yang juga sebenarnya manusia global yang mampu mencapai makam-makam yang terpuji.14
Dalam buku Islam and Secularism, Naquib Al-Attas memberi huraian tentang tujuan pendidikan yang sedikit berbeda, yakni “tujuan pendidikan adalah untuk menanamkan kebajikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warganegara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entiti fizik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya kepada negara, masyarakat dan dunia.15
Logika yang dikemukakan Al-Attas bermakna warganegara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekular belum tentu ianya seorang manusia yang baik, sebaliknya manusia yang baik sudah pasti ianya seorang pekerja dan warga negara yang baik.M. Quraisy Sihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an berpendapat bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah membina manusia secara individu mahupun kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini dengan konsep yang ditetapkan oleh Allah. Dengan demikian tujuan ini nampak masih bersifat umum akan tetapi berlaku diseluruh dunia yang meyakini Islam sebagai pedoman hidupnya, sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat khas terkandung unsur fleksibilitas yang perumusannya berdasarkan ijtihad para ulama sesuai dengan keadaan zaman, tempat dan waktu --ianya sangat tergantung pada siapa, bila, dimana dan bagaimana pendidikan itu dijalankan-- akan tetapi tetap tidak menyalahi tujuan umum tersebut.16
Cabaran Globalisasi Dalam Dunia Pendidikan Agama
Globalisasi yang telahpun dihuraikan pada awal tulisan ini, telah menjejaskan pula dalam bidang pendidikan termasuk pula pendidikan agama yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Karena globalisasi itu sendiri datang daripada dunia barat yang notabene bukan negara Islam, sehingga bagi kaum muslimin proses globalisasi mendapat kecurigaan yang sangat besar. Kecurigaan tersebut bukanlah tanpa alasan kerana globalisasi berlaku bersamaan dengan adanya kolonialisasi dan imperialisasi yang dipraktekkan oleh dunia barat semenjak 500 tahun yang lalu dan semakin berakselerasi semenjak kejatuhan uni soviet pada tahun 1991.17
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam terjadi beberapa pergeseran nilai-nilai yang secara ringkas dapat kita petakan, perubahan metode transformasi ilmu kepada anak didik/pelajar yang memungkinkan terjadinya perubahan peran antara guru dan murid, perubahan materi substansi daripada pendidikan agama dalam pendidikan formal disebabkan adanya tuntutan-tuntutan sosial yang berlaku terhadap dunia pendidikan secara global.
Perubahan fungsi dan peran antara Guru dan Murid
Pedagogi pendidikan pada zaman dahulu dikenal dengan istilah banking concept, atau pendidikan bergaya bank. Pendekatan yang selalu digunapakai dalam gaya pendidikan ini adalah pendekatan bercerita (narrative approach) yang mengarahkan murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Dengan demikian, tugas murid hanyalah mendengarkan cerita guru, mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa difokuskan untuk memahami arti dan makna sesungguhnya.18
Metode pendekatan semacam ini dengan mudah kita dapatkan contoh yang dipraktekkan didalam dunia pendidikan dilingkungan pondok pesantren yang masih bersifat salaf, dimana transformasi keilmuan masih bertumpu sepenuhnya pada kyai/ustaz.
Seiring dengan pergerakan zaman dalam era globalisasi ini, model pendekatan pendidikan diatas mengalami banyak pergeseran dimana sekarang peranan guru telah mengalami distorsi yakni peran seorang guru sekarang lebih ditekankan sebagai mitra belajar bagi anak didik, sehingga dalam proses pendidikan sesungguhnya seorang guru juga berproses dalam pembelajaran tersebut (lifelong learning)19
Dalam pandangan Islam, keguruan merupakan profession yang amat mulia. Guru itu merupakan al-mu’alim, menyampaikan ilmu yang benar, al-murabbi, menjayakan proses tarbiyah, al-mu’addib, mengajarkan adab dan budi pekerti, al-mursyid, membentuk kepemimpinan insan, dan al-mudarris, menitipkan pelajaran dan kemahiran20. Hal itu dapat kita fahami kerana pada masa dahulu anak didik kesulitan untuk mendapatkan maklumat dan informasi tentang segala sesuatu yang tengah dipelajari sehingga sumber satu-satunya sebagai sumber vital dan valid ialah berasal dari seorang guru.
Dengan berkembangnya kemajuan bidang sains dan teknologi sekarang justru terjadi kondisi yang terbalik dimana seseorang sekarang sangat mudah mendapat maklumat tentang segala sesuatu yang hendak ia ketahui menerusi laman web dengan melayari internet serta kemudahan dan kecanggihan sistem teknologi informasi yang telahpun berlaku pada masa ini. Masalah yang dihadapi oleh anak didik sekarang ialah kesulitan untuk melakukan filterisasi atau penyaringan dari kepelbagaian maklumat tersebut. Dalam kondisi seperti inilah fungsi guru mendapat cabaran hebat, sehingga guru dituntut untuk menjadi pembimbing (guides) dan juru latih (coaches) disamping guru itu sendiri dituntut untuk dapat menguasai sains dan teknologi dimaksud.
Transformasi keilmuan pada zaman dahulu menuntut kehadiran dari masing-masing pihak atau mutlaknya pertemuan dilakukan face to face antara guru dan murid. Sekarang gaya pendidikan seperti itu telahpun banyak berubah, dimana proses pendidikan yang memanfaatkan kemudahan internet seringkali tidak mensyaratkan adanya pertemuan lansung antara pengajar dan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Contohnya dapat kita lihat dalam segmen e-learning yang menerusi internet ataupun sistem pembelajaran jarak jauh menerusi program open university.
Pada masa ini, sudah wujud dimana para pelajar cukup belajar dirumah kediaman mereka sahaja (home schooling) dan tidak perlu lagi pergi ke sekolah. Ini semua dapat dilakukan melalui teknologi komputer. Komputer boleh digunakan oleh seorang pelajar untuk berinteraksi dengan pelajar lain ditempat lain di dunia, melakukan kerja rumah, melihat perpustakaan universiti, menelaah buku klasik dan sastera melalui fail-fail internet, bekerja sama dalam projek-projek akademik dengan rekan mereka ditempat lain, dan bermacam-macam jenis lagi pengajian yang boleh mereka ikuti. Walaupun teknologi tidak dapat serta merta mengganti hubungan guru-murid seperti yang wujud sekarang, ianya boleh memberi alternatif kepada pendidikan yang lebih yang lebih beragam, menarik dan kreatif.21
Tuntutan Sosial Terhadap Dunia Pendidikan Islam
Tingkat keberhasilan dari sebuah sistem pendidikan saat ini diukur dari para graduannya yang “siap guna”, diperlukan oleh “pasaran kerjaya” dan sejauhmana ia boleh berkhidmat ditengah masyarakat baik menjadi kaki tangan kerajaan mahupun di sektor swasta. Kerana itu, dunia pendidikan dianggap sebagai “kilang” yang menghasilkan graduan yang kononnya kompeten untuk kehendak semasa.22
Tuntutan tersebut dapat kita fahami berlaku wajar ditengah gegap gempita nya kemajuan-kemajuan dibidang industri teknologi dan komunikasi yang sememangnya memerlukan ramai ahli yang mampu menjalankan aktivitinya. Pertanyaannya adalah sejauhmana dunia pendidikan bersedia merubah dirinya sendiri sebagaimana tuntutan sosial yang ada --dalam beberapa hal mengalahkan idealisme yang telah terbina sebelumnya-- ataukah akan tetap mempertahankan tradisi yang sedia ada sehingga menjadi “menara gading” yang terpisah dari lingkungan masyarakatnya?
Dalam kaitannya dengan perubahan yang sepatutnya dilakukan oleh dunia pendidikan Islam dalam menghadapi gelombang globalisasi, menarik untuk kita simak apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah dengan solusinya yang ia sebut pendekatan integratif-interkonektif, yakni merubah paradigma berpikir kita yang sebelumnya berusaha keras mengintegrasikan ilmu-ilmu yang bersifat normativitas-sakralitas untuk dileburkan menjadi wilayah “historisitas-profanitas” atau pun sebaliknya, membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah normativitas-sakralitas tanpa reserve.
Paradigma berpikir seperti itu menurut Amin, sudah saatnya dirubah menjadi paradigma “interkoneksitas” yang berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, sama ada keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama lainnya), keilmuan sosial, humaniora maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara sendiri tanpa memerlukan sumbangan dari ilmu yang lain maka akan terjadi fanatisme partikulasi disiplin keilmuan.23
Idea asas daripada konsep yang dikemukakan oleh Amin, ialah karena berbagai ilmu pengetahuan tersebut diperlukan kerana memungkinkan kita untuk melakukan analisis kritis terhadap kebenaran transenden, apalagi kebenaran yang teraktualisasi dalam kehidupan konkret melalui karya manusia seperti para mufassir, teolog dan fuqaha.24
Oleh itu, perlu dilakukan kerja-kerja perubahan bagi orang-orang yang terkait dalam dunia pendidikan kearah perubahan yang dituntut oleh keadaan yang sememangnya telah berlaku. Perubahan tersebut dapat dimulai dengan mengkaji ulang substansi materi yang diajarkan alam dunia pendidikan, seperti :
1.Menghidupkan kembali tradisi pemikiran agama yang bersifat kritis. Tradisi kritis ini bermula dari pengaruh pemikiran kritis filosofis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk didalamnya adalah gugusan pemikiran keagamaan. Dengan tradisi ini berarti meyakini bahwa pemikiran Islam pada umumnya adalah produk sejarah yang tentu saja bersfat qalibun li al-taghyir dan qabilun li al-niqas.25 Melalui gerakan ini akan muncullah sikap desakralisasi kitab Fiqh, yakni mengasumsikan kitab fiqh sebagai penalaran manusia yang tidak menutup kemungkinan untuk dikritisi26 bahkan dikaji ulang relevansi kebenarannya dengan persoalan semasa.
Issu Kebangkitan dalam pemikiran Islam adalah topik yang akrab didalam sejarah umat Islam, khususnya bagi para ulama yang berusaha menghadapi tantangan dominasi dan pengaruh Barat dengan cara penegasan identitas Islam semenjak abad pertengahan XIX.27
Telah banyak para sarjana Islam yang mencoba menghidupkan kembali tradisi kritis ini, seperti diantaranya adalah Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, M. Arkoun, Bassam Tibbi, Abdullah Ahmed an-Naim, M. Sahrour, M. Abed Al-Jabiri, Nasr Hamd Abu Zaid, Syed NAquib al-Attas, Syed Hossein Nasr dan lain-lain.
Kendala yang paling berat untuk menghidupkan tradisi kritis ini ialah kesulitan yang dihadapi oleh para pemikir untuk memasuki dimensi epistimologisnya28, kerana memang hingga sekarang belum banyak formulasi teoritis yang ditawarkan. Dengan demikian, meskipun pakar-pakar diatas telah menyaari pentingnya kritik epistimologis namun nampaknya mereka sendiri kurang memberikan respon lanjutan, berupa tawaran formulasi acuan dasar teoritis dibidang ini.29
2.Mengembangkan pendekatan ushul fiqh, yang berguna untuk mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sanada yang bersifat definitif (qat’iy) ataupun spekulatif (zhanny).
Untuk melakukan upaya ini, tentu saja mensyaratkan pemahaman mendasar kepada ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ketentuan-ketentuan hukum dari aspek konsepsinya, kerana orientasi ushul fiqh adalah penetapan (affirmasi) atau peniadaan (negasi) terhadap ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.30
Wallahu a’lam




1 Harshita Aini Haroon, (2004) Globalisasi Bahasa: Antara Realiti dan Imaginasi, dalam Globalisasi Dalam Perspektif, Isu dan Cabaran, editor: Mohd Azizuddin Mohd Sani et.al, Selangor Darul Ehsan, IBSBuku Sdn Bhd, h.161
2 Yusof al-Qardhawi, (2001). Islam dan Globalisasi Dunia. (Terjemahan). Jakarta: Pustaka al-Kauthar.
3 Ahmad Zahid Hamidi, (tt). Gelombang Globalisasi: Menggarap Keampuhan Ummah di Malaysia. Putrajaya: Yayasan Islam Hadhari Malaysia, h.
4 Harshita Aini Haroon, (2004), ibid.
5 Alo Liliweri, M.S. DR, (2002) Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Jakarta LKiS hlm.42-43 Dalam buku itu juga dijelaskan 10 definasi daripada budaya yang pada intinya menjelaskan bahwa kebudayaan itu ada diantara umat manusia yang beraneka ragam, diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui pembelajaran, bersifat dinamis dan nilainya relatif. (lihat hlm 7-10)
6 Lukman Z. Mohamad dan Azmi Abdul Manaf (2003), Globalisasi di Malaysia, Yeohprinco, Sdn Bhd, h.4-5
7 Listiyono Santoso (2004), Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta ar-Ruzz, h. 120-121
8 Pembahasan lebih detail dapat dilihat pada makalah Prof. Madya Dr Rahimin Affandi Abdul Rahim (et.al.) : PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM MENANGGANI CABARAN GLOBALISASI : PENGALAMAN APIUM, makalah adalah bahan kuliah IFGH 6312 (Pengajian Syariah di Malaysia) pada Akademi Pengajian Islam Jabatan Fiqh dan Ushul Universiti Malaya, 2008
9 Sindhunata, ed. (2000) Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jogjakarta, Kanisius, h.12
10 Sindhunata, (2000), Ibid, h. 34,
11 Tilaar, H.A.R (2003) Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan Dari Prespektif Studi Kultural, Magelang, Indonesia Tera, hlm.62
12 Nurcholis Madjid, Prof.Dr. (2001) Pendidikan, Langkah Strategis Mempersiapkan Sumber Daya manusia Berkualitas, Sebuah pengantar dalam Indra Djati Sidi, Ph.D: Menuju Masyarakat Belajar, Mengagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta, Paramadina, h.xi
13 Syed Othman Alhabshi, Dr. dan Hasnan Hakim, dalam Kertas kerja yang dibentangkan di Kongres Pendidikan Melayu di Dewan Merdeka, Pusat Dagangan Dunia Putra (PWTC), Kuala Lumpur, pada 1 – 2 September 2001, lebih terperinci penjelasan mengenai falsafah pendidikan negara dan hal-hal yang berkaitan dengan sistem pendidikan di Malaysia dapat dil;ihat dalam website Kementerian pendidikan: http://www.
14 Wan Mohd Nor Wan Daud, (2005) Pembangunan di Malaysia: Ke arah Satu Kefahaman Baru Yang Lebih Sempurna, dalam Siri Akidah dan Pemikiran Islam 3, Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, cet. Kedua, h.95
15 Wan Mohd Nor Wan Daud, (2005) Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur, h.116
16 M. Jindar Wahyudi (2006) Nalar Pendidikan Qur’ani Yogyakarta, Apeiron Philotes, hlm.61-62
17 Lukman Z. Mohamad dan Khaidzir Hj. Ismail (2003) Melayu Hilang Di Dunia? Persoalan Identiti Nasional Dan Bangsa Malaysia Dalam Era Globalisasi, dalam: Lukman Z. Mohamad dan Azmi Abdul Manaf, Opcit, hlm 227
18 Muh. Hanif Dhakiri (2000) Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, Jakarta, Penerbit Djambatan bekerjasama dengan Penerbit Pena, hlm. 47
19 Tor Geok Hwa, (2004) Mengembangkan Pemahaman Global: Cabaran Arus Globalisasi Terhadap Sistem Pendidikan di Malaysia, dalam Globalisasi Dalam Perspektif, Isu dan Cabaran, editor: Mohd Azizuddin Mohd Sani et.al, Selangor Darul Ehsan, IBSBuku Sdn Bhd, h.153
20 Wan Liz Ozman Wan Omar (2000) Mengurus Agenda Abad 21, Cabaran dan Persiapan Dalam Era Globalisasi, Kuala Lumpur, Golden Books Centre Sdn. Bhd. Hlm92; Lihat juga M. Jindar Wahyudi (2006) opcit, hlm. 52-57
21 Wan Liz Ozman Wan Omar (2000), ibid, hlm.91
22 Pembahasan lebih detail dapat dilihat pada makalah Prof. Madya Dr Rahimin Affandi Abdul Rahim (et.al.) : PARADIGMA BARU PENDIDIKAN ISLAM MENANGGANI CABARAN GLOBALISASI : PENGALAMAN APIUM, makalah adalah bahan kuliah IFGH 6312 (Pengajian Syariah di Malaysia) pada Akademi Pengajian Islam Jabatan Fiqh dan Ushul Universiti Malaya, 2008
23 M. Amin Abdullah (2006) Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm.vi-vii
24 Suadi Putro (1996), Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan: PAndangan Mohammed Arkoun, dalam:Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun oleh Johan Hendrik Meuleman (penyunting), Yogyakarta, LKiS, HLM.108
25 M. Amin Abdullah (2006), ibid, hlm.298
26 Ahmad Zahro, H. Prof. Dr. MA (2006), Desakralisasi Kitab Fiqih Sebuah Upaya Reformasi Pemahaman Hukum Islam, dalam: Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA (editor), Penerbit IAIN Press dan LKiS, hlm.103
27 Abdullah Ahmed an-Na’im (2004), Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, oleh: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany (penerjemah), Yogyakarta, LKiS, hlm.57
28 Epistimologi adalah wacana yang dewasa ini tengah diwar-warkan, berasal daripada bahasa Yunani: Episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan utama dalam bidang ini: (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Darimanakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Ini adalah persoalan tentang “asal” pengetahuan; (2) Apakah sifat atau watak dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang: “Apa yang terlihat (appearance) pada satu sisi yang berlawanan dengan hakikatnya (reality)pada sisi yang lain”; (3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid) bagaimana kita dapat membezakan yang benar dan yang salah? Ini adalah soal mengkaji kebenaran atau verifikasi.
29 Sibawaihi (2004), Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta, Penerbit Islamika, hlm. 10
30 Hassan Hanafi (2003), Islamologi 1, Dari Teologi Statis ke Anarkhis, oleh: Miftah Faqih (penerjemah), Yogyakarta, LKiS, hlm.103